Demonstrasi yang diwarnai dengan perusakan, pembakaran gedung, hingga penjarahan harta benda sangatlah tidak elok dipandang. Unjuk rasa yang semestinya sebagai bentuk ekspresi menumpahkan segala “unek-unek” yang selama ini membeku. Ternyata menyisakan luka dan nestapa. Pertanyaannya, mengapa rakyat semarah itu ?
Tak akan ada asap bilamana tiada api. Rentetan demonstrasi di Indonesia pada bulan Agustus kemarin, tidak mungkin terjadi tanpa percikan yang muncul. Tak mungkin datang tiba-tiba. Begitulah demonstrasi yang terjadi. Entah dalam negeri ataupun luar negeri.
Pada tanggal 10 Agustus lalu, bagaimana muaknya warga Pati, ditengah jerit masyarakat kesulitan mencari pangan. Malah justru Pajak Bumi dan Bangunan dinaikkan. Alih-alih meredam ancaman demo, Bupati Sudewo justru menantang para demonstran. Pungkasnya, unjuk rasa besar-besar soal kebijakan Pemkab Pati pun tak dapat dihindarkan. Protes massa yang berlangsung di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Indonesia adalah yang kali pertama Kemarahan publik dipicu atas usulan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250%.
Belum reda persoalan Pati, rakyat kembali disuguhi tontonan yang membuat geram. Jogetan para wakil rakyat, kenaikan tunjangan lain dari gaji bulanan, pajak semakin di tekan. Belum lagi pernyataan-pernyataan menjengkelkan dari para pemangku kebijakan, euofira berlebihan ditengah lapangan kerja hampir tidak ada. Tak ayal, ancaman demo yang sebelumnya telah dikumandangkan. Dan benar terjadi. Lebih parah lagi, diwarnai tragedi terlindasnya driver ” ojol ” oleh Rantis milik Brimob.
Demo pada bulan Agustus kemarin, menjadi catatan kelam bagi perjalanan negeri ini. Penjarahan rumah sebagian anggota DPR RI, termasuk rumah Menkeu Sri Mulyani. Pembakaran fasilitas negara dan umumpun tak luput dari rentetan cerita demonstrasi. Entah ada penyusup yang sengaja, ataukah benar-benar kemarahan rakyat.
Fenomena ” menjarah ” sebagian rumah pejabat oleh rakyat merupakan sebuah manifestasi dari ketidakadilan sosial yang tercermin dalam interaksi antara individu dengan struktur kekuasaan di negara. Agama dan negara tetap melarangnya. Tidak dibenarkan mengambil atau merampas harta benda yang bukan haknya. Namun, keadilan tidak pernah terasa menjadikan mereka nekat melakukan tindakan tercela.
Sementara mereka para pejabat, pada dasarnya juga dikatakan ” menjarah ” milik rakyat. Atas nama peraturan negara. Dalih percepatan pembangunan, ekonomi negara tidak stabil. Diaturlah undang-undang baru, pajak naik, putar musik atau apapun yang bersifat hak cipta kena royalti. Parahnya, negara seakan mengemis dengan mengatakan pajak itu sama halnya zakat. Belum lagi para bandit negara yang hingga kini masih berkeliaran tanpa hukuman jelas. Sementara rakyat kecil, sedikit aja berisik, balik jeruji jelas sudah menanti.
Rakyat tidak memiliki kuasa mengatur UU, menyusun anggaran, ataupun merencanakan pembangunan. Namun, mereka tidak bisa disalahkan. Sudah berapa uang mereka yang dialirkan atas nama pajak, akan tetapi kesenjangan kehidupan masih ” bainas sama’ wal ardh / antara langit dan bumi ” ?
Mengutip catatan beberapa sumber, rakyat yang miskin sering merasa terpaksa melakukan tindakan ilegal untuk bertahan hidup, sementara pejabat yang memiliki akses ke kekuasaan menggunakan posisi mereka untuk memperkaya diri sendiri. Pun demikian, ketika rakyat merasa bahwa pemerintah lebih mementingkan kepentingan pribadi pejabat daripada kesejahteraan umum, maka kepercayaan terhadap institusi pemerintahan menurun drastis. Hal ini memperburuk legitimasi pemerintahan di mata publik.
Agama berpesan, ” kullukum ro’in wa kullukum mas-ulun ‘an ro’iyatihi / kalian semua pemimpin dan (nanti) akan dimintai pertanggungjawaban atas yang kalian pimpin (rakyat).
Oleh : Ghofur Hasbulloh



