Selain batu so’on (batu susun) Yang menyerupai situs Stonehenge di Inggris ternyata Bondowoso juga memiliki situs pra sejarah megalitikum yang tak kalah menarik. terletak di desa Banyuputih kecamatan Wringin kabupaten Bondowoso tepatnya di belakang pabrik rokok berdiri tegak dua batu raksasa Yang menyimpan sejarah.
Dikenal dengan nama Betho Labeng atau watu lawang dalam bahasa Jawa, ini karena dulunya di situs ini tak hanya ada susunan batu menhir saja. Tapi juga dikelilingi hamparan batu Dan di pintu masuk, terdapat dua batu besar.
Nama lain dari situs ini ialah batu eppian atau batu penyepian, menurut warga setempat Sebelum menjadi objek wisata sejarah dulunya Tempat ini sering dijadikan sebagai tempat pertapaan. ada dua tokoh sesepuh desa yang terkenal dengan tirakatnya yaitu KH Abdullah dan KH Abdul Azis.
Namun Seiring berjalannya waktu dan berkembang nya zaman ritual ritual yang berkaitan dengan ghaib dan mengandung unsur mistis, sekarang sudah hampir ditinggal kan. Kini masyarakat setempat hanya menggelar kegiatan seperti istighosah bersama, atau kegiatan selamatan dan. Semacamnya.
Kendati demikian, masih ada beberapa orang yang melaksanakan ritual mistis di batu lawang seperti apa yang disampaikan Abdul Wafi juru pelihara ” terkadang ada orang Bali yang entah maunya apa menggelar ritual ditempat ini, entah niatnya untuk mengambil keris dan pusaka yang ada didalam batu ini atau hanya sekedar melaksanakan ibadah dan semacamnya saya kurang tau” ucapnya saat diwawancara (6/12/2024).
Terdiri dari empat bongkahan batu inti yang tersusun rapi. Dua batu sebagai penyangga dan dua diantaranya berdiri diatasnya dengan megah Di tepi lahan dengan ketinggian kurang lebih 300san MDPL.
Menurut penuturan Abdul Wafi , situs batu lawang ini dulunya lebih besar dari apa yang bisa dilihat sekarang bahkan untuk mencapai puncak batu diperlukan dua buah bambu susun. Namun akibat dari serakahnya Manusia, menukar apapun yang bisa bernilai rupiah, menhir batu tegak terbesar di Indonesia ini harus menjadi korban. Batu ini dipahat dibentuk balok untuk kemudian dijual hingga akhirnya usaha itu berhenti akibat menelan korban jiwa.
Hingga saat ini hanya tersisa batu dengan ketinggian 7,5 meter, panjangnya 7,2 meter, dan lebarnya 5 meter.
Ternyata dibalik kemegahannya tersimpan fungsi yang tidak kalah penting, pada masanya batu ini berfungsi untuk melihat pergantian musim. Masyarakat pada jaman dahulu setiap akan bercocok tanam pasti menggunakan batu tersebut sebagai penanda.
“Jika matahari sudah tepat berada Tengah – tengah celah maka tandanya musim kemarau akan tiba” jelas Abdul Wafi .
Fenomena tersebut masih bisa dilihat hingga saat ini Namun sudah tidak lagi dijadikan patokan dan penanda musim mengingat cara hidup masyarakat yang semakin modern.
Abul wafi juga Juga menceritakan bahwa pernah ada turis asal Prancis yang rela menginap dirumahnya untuk menunggu mentari terbit tepat ditengah celah batu lawang.
Bukan hanya sekedar nilai sejarah nya yang menarik minat wisatawan hamparan dedaunan hingga lautan Situbondo yang tampak jelas di kejauhan ditambah bangunan bernuansa klasik dan tidak dipungut nya biaya masuk akan sangat di sayangkan jika terlewatkan lebih lebih yang memiliki ketertarikan terhadap sejarah.
Kini menhir tersebut sudah dikelilingi oleh pagar yang baru saja terselesaikan. Dan akan terus dikembangkan dari mulai akses hingga fasilitas penunjang wisatawan.







