Lensa mahasiswa
Media pers IAI At-Taqwa Bondowoso- bergerak lewat tulisan bergerak dengan karya

Polemik Mahasiswa Baru Antara Menjadi Mahasiswa Aktivis atau Akademis

Oleh: Rifky Gimnastiar (Mahasiswa Fakultas Tarbiyah Prodi Pendidikan Agama Islam)

Mahasiswa baru selalu berada dalam pusaran dilema: apakah akan konsistensi menjadi mahasiswa akademisi yang mengejar nilai atau angka semata, atau justru melangkah lebih jauh menjadi mahasiswa aktivis yang menekuni ruang-ruang organisasi. Polemik ini seakan menjadi wacana dalam kacamata perguruan tinggi. Namun, sesungguhnya pilihan itu bukan soal dikotomi hitam-putih, melainkan bagaimana mahasiswa berani menekuni proses yang memadukan antara akademik dan aktivis dengan penuh kesadaran sinergis.

Beberapa publik figur Kabupaten Bondowoso yang kita kenali bersama: KH. Abdul Hamid Wahid, M.Ag yang kini Bupati Bondowoso, KH. As’ad Yahya Syafi’i, S.Ag selaku Wakil Bupati, Dr. (Hc) KH. Amin Said Husni, M.Ag mantan Bupati, serta KH. Drs. Salwa Arifin yang juga mantan Bupati. Mereka bukanlah tokoh yang tiba-tiba lahir luar biasa, tetapi ditempa oleh penderitaam proses panjang, militansi pengabdian, dan konsistemsi perjuangan yang panjang. Inilah bukti bahwa keberhasilan hari ini lahir dari keseriusan di masa lalu.

Begitu pula di lingkungan kampus kita, ada sederet tokoh inspiratif: Drs. KH. Abah Imam Barmawi Burhan selaku Ketua Yayasan At-Taqwa, Dr. Suheri, M.Pd.I selaku Rektor, Dr. Agus Fawaid, M.Pd.I, Dr. Miftahul Salam, M.Pd.I, Dr. Wafi Ali Hajjaj, M.Pd, Dr. Abdul Wasik, M.HI, H. M. Rusydi, M.Pd hingga dosen senior kampus Drs. KH. Kholil Syafi’i, M.Si, Semuanya ketika muda adalah mahasiswa biasa, namun mereka tidak malas-malasan. Mereka menekuni organisasi, serius belajar, hingga hari ini menduduki posisi strategis. Maka, tidak cukup kita sekadar bangga kepada mereka, tetapi seharusnya menjadikan keteladanan mereka sebagai inspirasi perjuangan kita.

Organisasi sesungguhnya adalah ruang paksa yang penuh berkah. “Organisasi merupakan ruang proses di mana kita dipaksa dewasa sebelum waktunya.” Ungkapan ini bukan sekadar slogan, melainkan bukti realitas. Di dalam organisasi, kita belajar untuk mendahulukan kepentingan bersama ketimbang ego pribadi. Kita ditempa untuk tahan banting dalam menghadapi ragamnya perbedaan, variannya konflik, dan proses pasang surut dinamika yang justru memperkaya daya tahan mental dan intelektual kita.

Mahasiswa aktivis bukan hanya dilatih menjadi speaking publik yang ulung, tetapi juga diajarkan problem solving dalam skala nyata. Dari public speaking, manajemen konflik, hingga kepemimpinan kolektif. Organisasi melatih kita bukan sekadar membesarkan diri, tetapi bagaimana menumbuhkan kebersamaan. Inilah titik pembeda: mahasiswa akademis hanya berpikir bagaimana dirinya berhasil sementara mahasiswa aktivis berpikir bagaimana bersama-sama mencapai keberhasilan.

Dalam sejarah panjang peradaban Islam pun, semangat kolektivitas menjadi kunci. Rasulullah SAW menegaskan bahwa umat terbaik adalah umat yang saling menguatkan seperti bangunan kokoh. Maka, mahasiswa sebagai salah satu elemen pemuda Syubbanul Yaum Rijalul Ghad, pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan. Mahasiswa harus benar-benar menekuni proses aktivisme kampus. Jika ingin melihat wajah Bondowoso 20 tahun mendatang, cukup lihat para mahasiswa hari ini. Maka atas dasar hal tersebut, jadilah kader militan yang menebar harum nilai dan ajaran, bukan malah menjadi oknum yang mencederai nama baik organisasi.

Namun disamping sisi kita sadar, semangat itu bersifat fluktuatif. Terkadang membara, terkadang melemah. Maka, seorang aktivis harus mampu mengelola stamina ideologisnya: tetap bertahan dalam organisasi apapun situasi dan kondisinya. Karena sesungguhnya tantangan terberat bukan pada ide musuh di luar, melainkan pada rasa malas dan pragmatisme di dalam diri sendiri.

Mahasiswa aktivis juga dituntut peka pada realitas. Mereka tidak boleh hanya terjebak pada romantisme jargon “Agen Of Change” atau “Agen Of Social Control” tanpa menghidupkannya. Perubahan sosial tidak lahir dari spanduk atau selebaran, tetapi dari aksi nyata, keberanian berbicara, dan kesungguhan beramal di tengah masyarakat. Aktivisme harus relevan dengan kebutuhan zaman dan problem riil masyarakat.

Sering kali mahasiswa akademis merasa aman dengan indeks prestasi yang tinggi. Namun, mahasiswa hebat bukan hanya yang berpikir bagaimana mendapatkan nilai cumlaude, melainkan yang mampu menjawab pertanyaan setelah lulus mau apa, mau bermanfaat di mana, dan mau menjadi siapa ditengah masyarakat. Aktivisme justru memberi bekal keterampilan sosial yang tidak selalu bisa diajarkan di bangku kelas.

Memang, pilihan menjadi akademis atau aktivis tetap terbuka. Tetapi sejarah mengajarkan, perpaduan keduanya jauh lebih kokoh. Akademik tanpa aktivisme cenderung kering, aktivisme tanpa akademik cenderung bising. Maka, mahasiswa baru seharusnya diarahkan untuk menekuni jalur aktivis, bukan sekadar aktif formalitas, melainkan benar-benar menghayati proses panjang sebagai kader bangsa.

Di titik inilah kita belajar dari para tokoh Bondowoso dan kampus kita. Mereka adalah saksi hidup bahwa ketekunan, militansi, dan keuletan berorganisasi melahirkan jalan kesuksesan. Tidak ada keberhasilan yang instan, semua melalui jerih payah. Maka, mahasiswa baru jangan hanya terpukau oleh nama besar para tokoh, tetapi tekunilah jalan panjang itu dengan penuh kesungguhan.

Akhirnya, mahasiswa hari ini harus meneguhkan diri: jangan hanya sekadar masuk log-in organisasi, tetapi bagaimana menghidupi level-up organisasi. Jangan hanya sekadar datang di forum, tetapi bagaimana memberi makna di forum. Karena pada akhirnya, organisasi bukan hanya tentang siapa kita sekarang, tetapi siapa kita kelak di masa depan. Dan Kabupaten Bondowoso menunggu kader-kader terbaiknya yang lahir dari kampus IAI At-Taqwa Bondowoso tercinta ini.

Mari bersama bukan hanya sekedar menjadi peserta didik yang membanggakan para pendidiknya tetapi menjadi peserta didik yang dibanggakan oleh para pendidiknya. Pendidikan adalah senjata ampuh untuk mentransformasi peradaban. Dari yang kurang baik menjadi baik dan dari yang baik menuju lebih baik. Pendidikan dalam organisasi adalah nilai ilmiyah untuk mengamaliyahkan keseharian dalam berproses menjadi mahasiswa yang tentunya lebih kompeten, aktual dan berintegritas.

Penulis: Rifky GimnastiarEditor: Khoifaturrahmah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *