Bondowoso – Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Institut Agama Islam (IAI) At-Taqwa Bondowoso menggelar diskusi terbuka bersama Dewan Eksekutif Mahasiswa se-Kabupaten Bondowoso pada Jumat (22/8/2025). Forum yang berlangsung di ruang A1 IAI At-Taqwa ini mengusung tema “Untuk Siapa Pemerintah Bekerja?” dengan fokus pada evaluasi enam bulan kinerja Pemerintah Kabupaten Bondowoso.
Diskusi menghadirkan pengurus DEMA/BEM dari berbagai perguruan tinggi di Bondowoso. Para peserta menyoroti pelaksanaan APBD 2025, sejauh mana visi pemerintah daerah tercermin dalam program, serta persoalan-persoalan krusial yang masih membayangi masyarakat.
Berdasarkan data yang dipaparkan, APBD Bondowoso 2025 mencapai Rp2,162 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp994,5 miliar atau 46 persen digunakan untuk belanja pegawai, Rp583,7 miliar atau 27 persen untuk belanja modal, dan Rp583,8 miliar atau 27 persen untuk belanja lainnya. Komposisi ini menimbulkan perdebatan apakah anggaran lebih banyak terserap untuk birokrasi dibandingkan program yang langsung menyentuh masyarakat.
“Pertanyaan utama yang perlu dijawab adalah, untuk siapa sebenarnya pemerintah bekerja? Apakah anggaran ini lebih berpihak pada rakyat atau sekadar menguatkan struktur birokrasi,” tegas Rifaandi, Ketua DEMA IAI At-Taqwa.
Selain menyoal anggaran, isu pendidikan juga menjadi sorotan penting. Data resmi Dinas Pendidikan Bondowoso yang dipaparkan Komisi IV DPRD menyebutkan 6.731 anak putus sekolah di tingkat SD dan SMP pada 2025. Bahkan, media lokal seperti Radar Jember dan Times Indonesia melaporkan jumlah anak tidak sekolah di Bondowoso mencapai 8.866 orang.
Kondisi tersebut diperkuat data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur 2024, yang mencatat rata-rata lama sekolah (RLS) di Bondowoso hanya 6,53 tahun. Angka ini termasuk lima terendah di Jawa Timur dan tertinggal hampir dua tahun dari rata-rata provinsi yang mencapai 8,11 tahun.
Fakta ini memperlihatkan bahwa persoalan pendidikan masih menjadi pekerjaan rumah besar pemerintah daerah. Tingginya angka putus sekolah disebut ditengarai dipengaruhi faktor biaya, pernikahan dini, serta keterbatasan infrastruktur dan tenaga pendidik.
Diskusi juga menyoroti lemahnya inovasi kebijakan pendidikan serta rendahnya transparansi anggaran. Publik masih sulit mengakses informasi detail penggunaan dana pendidikan, sehingga evaluasi terhadap efektivitas program menjadi terbatas.
“Enam bulan kinerja pemerintah seharusnya menjadi momentum awal menunjukkan keberpihakan terhadap rakyat. Namun, ketika angka putus sekolah masih ribuan dan rata-rata lama sekolah rendah, kita perlu bertanya kembali: apakah program pemerintah sudah sesuai dengan visi Bondowoso Maju, Mandiri, Berdaya Saing, Bermartabat?” ungkap salah satu peserta diskusi.
Sebagai hasil pertemuan, forum mahasiswa menegaskan tiga catatan utama:
1. Pemerintah perlu memperjelas orientasi APBD agar tidak hanya terserap untuk belanja pegawai, tetapi juga memperbesar porsi belanja yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat.
2. Isu pendidikan harus menjadi prioritas dengan langkah nyata menekan angka putus sekolah, memperkuat kualitas guru, serta menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai.
3. Transparansi dan partisipasi publik dalam perumusan serta pelaksanaan program daerah perlu ditingkatkan agar masyarakat dapat ikut mengawal jalannya pemerintahan.
DEMA IAI At-Taqwa Bondowoso menegaskan, diskusi ini bukan sekadar forum akademis, melainkan ruang evaluasi kritis untuk memastikan pemerintahan daerah benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat.
Forum ditutup dengan slogan reflektif: “Bondowoso begitu-begitu saja, apakah karena rakyatnya sejahtera atau terbiasa menderita?” yang dijawab serentak oleh mahasiswa dengan pekikan: “Siap Serap Aspirasi!”












https://shorturl.fm/MnyNV