Lensa mahasiswa
Media pers IAI At-Taqwa Bondowoso- bergerak lewat tulisan bergerak dengan karya

Jejak Kapitayan: Agama Tua Nusantara yang Hampir Terlupakan

Selama ini kita diajarkan bahwa masyarakat awal Nusantara menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Namun, di balik pelajaran resmi itu, ada satu cerita lain yang jarang disentuh bahkan nyaris dilupakan

Indonesia adalah negeri dengan sejarah panjang yang tak pernah habis untuk dikaji. Dari zaman kerajaan, kolonialisme, hingga kemerdekaan, tiap lembar sejarahnya selalu menghadirkan daya tarik tersendiri. Termasuk ketika kita berbicara tentang sejarah agama di Nusantara. Sebagai negeri dengan keberagaman suku, ras, budaya, dan adat istiadat, kisah perjalanan spiritual masyarakatnya selalu memberi warna dan nilai tersendiri. Tidak heran bila Bung Karno pernah mengingatkan kita dengan ungkapan yang begitu terkenal: “JAS MERAH, jangan sekali-kali melupakan sejarah.” Pesan itu menegaskan bahwa sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan cermin dan ibrah bagi generasi setelahnya.

Selama ini kita diajarkan bahwa masyarakat awal Nusantara menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Namun, di balik pelajaran resmi itu, ada satu cerita lain yang jarang disentuh bahkan nyaris dilupakan. KH. Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo menyingkap adanya agama leluhur asli Nusantara yang bernama Kapitayan. Agama ini dianut oleh penduduk awal Pulau Jawa, terutama mereka yang digambarkan berkulit hitam, jauh sebelum Islam datang dan menyebar luas.

Asal-usul Kapitayan dikisahkan bermula dari seorang tokoh mitologis bernama Danghyang Semar, putra Sanghyang Wungkuham dan keturunan Sanghyang Ismawa. Ia disebut-sebut sebagai pembawa ajaran Kapitayan di Jawa. Sementara itu, saudaranya, Sang Hantaga (Togog), juga mengajarkan Kapitayan di luar Jawa, meski dengan sedikit perbedaan ajaran. Kisah ini menegaskan bahwa Kapitayan bukan sekadar kepercayaan lokal biasa, melainkan sebuah sistem keyakinan yang cukup mapan.

Yang membuat Kapitayan menarik untuk dikaji adalah kemiripannya dengan Islam, khususnya dalam hal konsep ketuhanan. Penganut Kapitayan menyembah Tuhan yang mereka sebut Sang Hyang Taya, sosok tertinggi yang diyakini berbeda dari makhluk apa pun. Mereka menyebut-Nya dengan istilah “tan kena kinaya ngapa,” artinya tidak bisa diserupakan dengan apa pun. Konsep ini mengingatkan kita pada firman Allah dalam Al-Qur’an: “Laisa kamitslihi syai’un” (tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya).

Selain itu, dalam praktik peribadatan, Kapitayan juga memiliki ritual yang disebut Sembah Hyang. Gerakan dalam ritual ini ternyata mirip dengan gerakan shalat dalam Islam. Ada Tulajeg, yaitu berdiri tegak dengan tangan bersedekap. Ada Tungkul, membungkuk sambil menundukkan pandangan. Ada Tondem, bersujud dengan wajah menyentuh tanah. Dan ada Tulumpuk, duduk dengan posisi yang mirip iftirasy dalam shalat. Tak hanya soal gerakan, penganut Kapitayan juga meyakini bahwa Tuhan bersifat gaib, tidak berwujud, dan berada di luar jangkauan indera manusia.

Kesamaan inilah yang kemudian menjadi titik temu ketika Islam dibawa ke Nusantara. Para Wali Songo yang dikenal cerdas dalam berdakwah melihat Kapitayan sebagai pintu masuk yang efektif. Mereka tidak serta-merta menghapus keyakinan lama, melainkan menghubungkannya dengan ajaran tauhid dalam Islam. Dengan pendekatan ini, masyarakat lebih mudah menerima Islam karena mereka menemukan kesamaan mendasar dalam hal keimanan kepada Tuhan yang Maha Esa.

Meskipun penyebarannya tidak selalu mudah dan penuh dengan tantangan, strategi dakwah tersebut terbukti berhasil. Perlahan tapi pasti, Islam tumbuh dan berkembang hingga akhirnya menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia.

Sejarah Kapitayan, apakah diakui atau tidak, tetaplah bagian dari perjalanan panjang bangsa ini. Ia adalah salah satu warisan nenek moyang yang layak dikenang, dipelajari, dan dijadikan pelajaran. Sebagai generasi penerus, kita tidak boleh merasa asing dengan sejarah sendiri. Justru dengan memahami sekelumit kisah Kapitayan, kita bisa lebih bangga terhadap kekayaan budaya dan spiritual leluhur kita, serta melihat bagaimana mereka menjadi bagian penting dari jalan panjang yang akhirnya mempertemukan Nusantara dengan Islam.

 

Penulis: khoirur RizkiEditor: Khoifaturrahmah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *