Tidak menerima keputusan dewan juri oleh peserta lomba merupakan hal yang lumrah terjadi, terlebih mereka yang kalah. Seribu alasan dilontarkan. Hingga taraf cemoohanpun dilayangkan.
Juri bukan malaikat, pun juga bukan nabi yang tidak bisa salah. Namun, ketika amanat menjadi juri sudah dipegangan, terlebih yang menunjuknya, tentunya sudah menganggap – minimal yakin keputusan juri nanti jelas netral -, maka nilai yang diputuskan dan dikeluarkan sudah jelas-jelas memenuhi standart.
Erat kaitannya hal ini, seorang juri akan dikuras fikirannya bilamana memasuki babak penentuan atau final. Utamanya perlombaan keagamaan yang diikuti mayoritas kaum ibu-ibu, diikuti oleh peserta berasal dari desa yang sama, dan bertetangga. Pasalnya, tidak hanya pertaruhan kecakapan, kefasihan, kelancaran maupun kekompakan tim, melainkan juga melibatkan gengsi dan harga diri.
Betapa nestapa, ada seorang juri digugat peserta yang tidak terima akan kekalahan (kendati gugatan tidak diterima).
Padahal, menggugat bukanlah hal yang mudah, baik dalam konteks hukum maupun dalam dunia kompetisi. Karena mengacu pada aturan dewan juri dan ketentuan penilaian, serta pemberitahuan keputusan yang tidak bisa digugat.
Kendati demikian, dalam beberapa situasi, keputusan dewan juri terkadang dianggap tidak adil atau cacat yang dapat memicu kontroversi. Hal ini bisa jadi disebabkan pengaturan skor, penyuapan, ataupun sikap kenetralan dalam memberikan nilai.
Prosedur Gugatan Keputusan Dewan Juri
Dalam banyak kasus, menggugat keputusan dewan juri harus dilakukan dengan dasar hukum yang jelas. Dan hal tersebut diperbolehkan selama memenuhi ketentuan berikut ini.
1. Dasar Hukum yang Kuat
Setiap kompetisi pastilah sudah memiliki peraturan yang menetapkan standarisasi proses penjurian dan prosedur pengaduan atau banding. Dengan demikian, menggugat keputusan dewan juri harus didasarkan pada adanya penyimpangan dari aturan yang sudah ditetapkan panitia.
2. Adanya Penyimpangan dari Aturan
Diantara salah satu alasan utama menggugat keputusan dewan juri adalah adanya pelanggaran prosedur atau aturan yang jelas. Misalnya, ketidaksesuaian antara kriteria penjurian yang diumumkan dengan cara dewan juri menilai. Atau ditemukan adanya konflik kepentingan yang tidak bisa diungkapkan.
3. Melalui Proses Banding atau Pengaduan
Tidak sedikit kompetisi menyediakan mekanisme banding apabila ditemukan indikasi kecurangan dalam penilaian. Artinya, pihak panitia memberikan kesempatan bagi peserta untuk memprotes keputusan yang dianggap tidak adil atau salah. Dalam banyak kasus, proses banding ini melibatkan pemeriksaan ulang oleh panel yang lebih tinggi atau independen.
Demikian aturan hukum yang memayungi bolehnya seorang peserta lomba ajukan gugatan atas penilaian juri. Oleh karenanya, ironis bilamana terjadi gesekan antara peserta dengan dewan jurinya, sehingga memicu permusuhan antara keduanya.
Masyarakat yang Enggan Kalah
Begitulah dalam perlombaan. Ada yang menang, dan ada yang kalah. Maka dari itulah, perlunya kesadaran menerima keputusan dalam setiap ajang lomba. Bukan lantas berhenti ataupun menyalahkan. Dan inilah salah perilaku masyarakat bawah. Bukan lantas instropeksi diri. Justru menebar kebencian pada mereka para penilai.
Dari kasus penulis – terjadi pada bulan Juli, tahun 2025 -, terdapat peserta lomba yang tidak menerima kekalahan, kebanyakan menyalahkan dewan juri. Parahnya lagi, mereka sudah enggan lagi mempercayai seorang juri hingga keluar cemoohan, cibiran dan lainnya. Padahal, dalam sudut pandang agama, seorang muslim adalah ” Mereka yang mampu menahan lisannya dari mencemooh saudara muslim lainnya”.
Tulisan berdasarkan peristiwa perlombaan di Desa yang ada di lingkungan Kabupaten Bondowoso
Oleh : Ghofur Hasbulloh.





