Ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Anfal ayat 28 menyatakan:
“Ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai fitnah, dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.
Ayat ini begitu laris dibawakan oleh para pendai, dari mimbar masjid hingga meja pengajian, dari kiai hingga gus sekalipun ikut andil mensyiarkan surat an Anfal ini.namun Sering kali, ayat ini dipahami secara sempit dan disalahgunakan oleh sebagian pendakwah untuk menanamkan sikap antipati terhadap dunia dan kekayaan. Mereka mengajarkan bahwa harta dan anak adalah sumber godaan yang harus dijauhi sehingga seolah-olah menjadi miskin itu lebih baik dan lebih suci. Pandangan ini bukan hanya keliru, tetapi juga berbahaya bagi umat Islam.
Bahkan parahnya banyak masyarakat beranggapan miskin itu adalah sebuah Sunnah mengingat pola hidup yang diterapkan nabi sangat sederhana dan bisa dikatakan jauh dari kata kemapanan finansial. Banyak dari mereka beranggapan sederhana artinya tidak punya apa-apa. Tentunya hal in tidak dapat dibenarkan dan harus segera diluruskan.
Sederhana adalah soal sikap dan sama sekali tidak berhubungan dengan Harta.
Islam bukan agama yang mengajarkan kemiskinan sebagai tujuan hidup. Sebaliknya, Islam mengajarkan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Kekayaan dalam Islam bukan dosa jika diperoleh dengan cara yang halal dan digunakan untuk kebaikan. Rasulullah sendiri hidup sederhana, namun bukan berarti beliau hidup dalam kemiskinan yang menyengsarakan. Kesederhanaan beliau adalah pilihan sikap, bukan karena tidak memiliki apa-apa.
Sikap zuhud yang diajarkan Islam berarti tidak terikat secara berlebihan kepada dunia, bukan menolak dunia secara total. Seorang muslim yang zuhud adalah mereka yang mampu menggunakan dunia tanpa menjadikan dunia sebagai tujuan utama atau sumber kebahagiaan sejati. Dunia dan harta justru bisa menjadi sarana besar untuk melakukan kebaikan sosial, membangun umat, dan memperkuat peradaban Islam.
Masih banyak masyarakat yang salah kaprah dan menganggap kemiskinan adalah tanda kesalehan. Padahal, kemiskinan tanpa kemampuan mandiri dapat menimbulkan ketergantungan dan kelemahan sosial-politik. Umat Islam yang pasif secara ekonomi akan selalu kalah dalam pengaruh budaya, politik, dan ekonomi dari kelompok yang lebih makmur.
Karenanya, menjadi kaya secara syariah bukan hanya diperbolehkan, tapi juga sangat dianjurkan. Kekayaan harus dikelola sebagai amanah yang bertujuan memperbaiki diri, keluarga, dan masyarakat. Seorang muslim kaya dapat berkontribusi lebih besar dalam membangun kesejahteraan umat dan menebar rahmat bagi semesta.
Memaknai ayat tentang fitnah harta dan anak sebagai peringatan agar tetap waspada dan tidak terperangkap dalam cinta dunia yang berlebihan, bukan sebagai alasan untuk menghindari kerja keras dan usaha dalam mencari rezeki. Umat Islam yang kuat adalah yang mampu beradaptasi dan menguasai dunia tanpa kehilangan jati diri dan akhlak mulia.
Singkatnya, kekayaan dalam Islam adalah alat, bukan tujuan akhir. Muslim harus kaya agar bisa menjalankan amanah membangun peradaban, melindungi umat, dan memperluas manfaat bagi sesama. Kemiskinan yang dipaksakan atas nama kesalehan justru berlawanan dengan semangat Islam untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.
lantas bagaimana cara untuk menjadi kaya?
Ada jutaan cara dan ribuan buku yang membahas jalan menuju hal tersebut namun kendati demikian masih banyak orang tak bisa sampai pada titik kekayaan maksimal. Hal ini bisa saja bukan dikarenakan cara yang mereka kerjakan salah melainkan setiap individu memiliki titik awal yang berbeda-beda dan setiap generasi mengalami masa yang tak sama. Ada yang memulainya dari awal dan ada juga yang hanya tinggal melanjutkan, ada yang mengatakan bahwa menjadi kaya harus menjadi investor, ada juga yang berpendapat menjadi kaya bisa dengan cara Bertani. Dan Sebagian yang lainnya percaya bertenak adalah cara paling baik untuk itu. Namun yang pasti Cara menjadi kaya tidak lepas dari membangun keahlian, berinovasi, dan bersikap jujur serta disiplin. Dunia modern memberi banyak peluang, mulai dari wirausaha, investasi syariah, hingga ekonomi digital. semua itu butuh ilmu. Di sinilah letak peran penting pendidikan dan literasi finansial. Umat Islam harus sadar bahwa penguasaan ekonomi adalah bagian dari jihad zaman ini — jihad melawan ketertinggalan, ketergantungan, dan dominasi asing.
jika ditanya mana cara paling benar? tentunya hal ini sangat sulit dijawab. Mengingat setiap masa kehidupan akan membentuk gaya hidup yang baru hingga kemudian berdampak pada perbedaan pengambilan Keputusan seseorang untuk menuju kaya.
Terlepas dari bagaimana caranya, penting bagi kita menanamkan prinsip menjadi kaya bukan sekadar soal angka di rekening atau tumpukan aset. Kekayaan sejati dimulai dari pola pikir yang sehat dan akhlak yang kuat. Langkah awalnya adalah dengan mengubah cara pandang terhadap harta: dari sesuatu yang harus dijauhi menjadi sesuatu yang harus dikelola dengan tanggung jawab. Banyak dari kita gagal menjadi kaya bukan karena kurang rezeki, tapi karena pola pikir yang membatasi. Mentalitas “yang penting cukup” seringkali dijadikan tameng untuk membenarkan kemalasan dan keengganan berkembang.
Dalam buku the pscycologi of money karya morgan hausel menyatakan bahwa; perihal keuangan gelar, relasi atau bahkan pengetahuan sama sekali tidak menjadi jaminan seseorang mampu dalam mengelola keuangan dengan baik karna sejatinya ia lebih dekat kepada perilaku seseroang bukan kepada kemampuan. Dan perilaku sukar diajarkan tak terkuali kepada orang cerdas sekalipun.











