Lensa mahasiswa
Media pers IAI At-Taqwa Bondowoso- bergerak lewat tulisan bergerak dengan karya

Pengamanan berujung pembunuhan; akankah negeri ini akan Kembali pada masa rezim orde baru?

Affan Kurniawan bukanlah siapa-siapa,Dia hanyalah seorang anak muda biasa dengan mimpi sederhana, sama seperti mayoritas rakyat yang hanya ingin hidup layak, bisa makan hari ini, dan menyiapkan sedikit masa depan. Namun hari ini Namanya menjelma sebagai simbol luka, sebab ia harus rela kehilangan nyawa karena brutalitas pengamanan yang berlebihan. Dia ditabrak, dilindas  dengan kendaraan taktis (Rantis) milik brimob.

Kekerasan semacam ini bukan pertama kali terjadi. Gas air mata, pentungan, kendaraan lapis baja, hingga tindakan brutal yang tak jarang merenggut nyawa, menjadi pemandangan berulang. Seolah demonstrasi bukan bagian dari hak demokratis, melainkan ancaman yang harus diberantas. Alih-alih menjadi pelindung, polisi justru ambil peran sebagai algojo yang siap memberantas siapa saja yang maasih bersuara nyaring.

Dalam hal demontrasi, antara demonstran dan polisi itu ada hubungan aksi-reaksi. Para pendemo akan beraksi atas aksi polisi. Dan polisi pun bereaksi terhadap tingkah pendemo. Pengamanan dengan tindak kekerasan dengan tujuan menciptakan ketakutan bukanlah Solusi, justru akan menjadi awal dari kerusuhan sebab hal itu akan juga direspon dengan cara yang sama.

Akankah negeri ini Kembali pada masa rezim orde baru?

Sedari kecil kita kerap kali mendengar cerita kekerasan, penyiksaan, bahkan pembunuhan yang dilakukan oleh militer. Ingatan kolektif bangsa ini masih menyimpan trauma terhadap aparat berseragam loreng yang pada masa lalu begitu mudah menginjak kehidupan rakyat. Namun kini, cerita serupa semakin sering terdengar dengan wajah berbeda: bukan lagi militer, melainkan polisi. Aparat yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat sipil justru menampilkan wajah garang, bahkan tak jarang lebih menakutkan daripada tentara.

Persoalan ini bukan hanya soal prosedur pengamanan, melainkan soal moralitas. Hannah Arendt dalam On Violence mengingatkan bahwa kekuasaan sejati tidak lahir dari senjata, melainkan dari legitimasi dan persetujuan rakyat. Kekuasaan yang bertumpu semata pada kekerasan adalah tanda bahwa legitimasi sudah hilang. Itulah yang terlihat di negeri ini: ketika rakyat menuntut dengan cara damai, aparat merespons dengan tindakan tak manusiawi. Maka sekeras apapun rakyat mencoba menahan diri, hasilnya tetap sama, karena aparat tidak berdiri di atas standar moral yang sama dengan warga.

Brutalitas polisi tidak bisa dipisahkan dari struktur kekuasaan. Aparat dilatih bukan untuk berdialog, melainkan untuk melindungi kepentingan mereka yang berkuasa. Elite politik yang semakin kehilangan pijakan sosial membutuhkan tangan besi untuk menjaga stabilitas. Maka, polisi dijadikan instrumen penakut, bukan pelindung. Kekerasan bukan lagi pilihan terakhir, tetapi sudah diposisikan sebagai strategi utama. Dari sinilah lahir tindakan keji yang menimpa rakyat kecil seperti Affan.

Tragedi ini harus dipandang sebagai cermin. Ia memperlihatkan bahwa demokrasi di negeri ini rapuh, bahkan mungkin tinggal nama. Apa gunanya kebebasan berpendapat jika setiap kali rakyat bersuara, nyawa mereka dipertaruhkan? Apa artinya aparat sebagai pengayom jika yang mereka lakukan justru menebar ketakutan? Negara yang terus-menerus bergantung pada brutalitas aparat sedang menyiapkan masa depan yang gelap.

Kisah Affan Kurniawan bukan akhir, melainkan peringatan. Jika kekerasan terus dipelihara, jika aparat tetap diperlakukan sebagai alat represi, maka korban berikutnya hanya menunggu waktu. Sejak dulu kita mendengar cerita tentang tentara yang bengis, kini kita menyaksikan polisi berjalan di jalur yang sama. Dan bila jalur ini tidak diubah, bukan hanya rakyat yang akan hancur, tetapi juga wajah kemanusiaan bangsa ini.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *